Pages

Minggu, 18 April 2010

Ehb

PENYUSUNAN INSTRUMEN
DAN TEKNIK PENSKORAN


A. Komponen Penyusunan Tes
1. Tujuan Tes
Tujuan tes yang penting adalah untuk : (a) mengetahui tingkat kemampuan peserta didik, (b) mengukur pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, (c) mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik, (d) mengetahui hasil pengajaran, (e) mengetahui hasil belajar, (f) mengetahui pencapaian kurikulum, (g) mendorong peserta didik belajar, dan (h) mendorong guru agar mengajar yang lebih baik. Seringkali tes digunakan untuk beberapa tujuan, namun tidak akan memiliki keefektifan yang sama untuk semua tujuan.
Ditinjau dari tujuannya, ada empat macam tes yang banyak digunakan di lembaga pendidikan, yaitu : (a) tes penempatan, (b) tes diagnostik, (c) tes formatif, dan (d) tes sumatif (Thorndike & Hagen, 1977). Sistem penilaian berbasis kompetensi pada umumnya menggunakan tes diagnostik, formatif, dan sumatif.
Tes penempatan dilaksanakan pada awal pelajaran, digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan yang telah dimiliki peserta didik. Untuk mempelajari suatu mata pelajaran dibutuhkan pengetahuan pendukung. Pengetahuan pendukung ini diketahui dengan menelaah hasil tes penempatan, Apakah seorang peserta didik perlu matrikulasi, tambahan pelajaran atau tidak, ditentukan dari hasil tes ini.
Tes diagnostik berguna untuk mengetahui kesulitan belajar yang dihadapi peserta didik, termasuk kesalahan pemahaman konsep. Tes ini dilakukan apabila diperoleh informasi bahwa sebagian besar peserta didik gagal dalam mengikuti proses pembelajaran pada mata pelajaran tertentu. Hasil tes diagnostik memberikan informasi tentang konsep-konsep yang belum dipahami dan yang telah dipahami. Oleh karena itu, tes ini berisi materi yang dirasa sulit oleh peserta didik, namun tingkat kesulitan tes ini cenderung rendah.
Tes formatif bertujuan untuk memperoleh masukan tentang tingkat keberhasilan pelaksanaan proses pembelajaran. Masukan ini berguna untuk memperbaiki strategi mengajar. Tes ini dilakukan secara periodik sepanjang semester. Materi tes dipilih berdasarkan tujuan pembelajaran tiap pokok bahasan atau sub pokok materi. Jadi tes ini sebenarnya bukan untuk menentukan keberhasilan belajar semata, tetapi untuk mengetahui keberhasilan proses pembelajaran.
Tes sumatif diberikan di akhir suatu pelajaran, atau akhir semester. Hasilnya untuk menentukan keberhasilan belajar peserta didik. Tingkat keberhasilan ini dinyatakan dengan skor atau nilai, pemberian sertifikat, dan sejenisnya. Tingkat kesukaran soal pada tes sumatif bervariasi, sedang materinya harus mewakili bahan yang telah diajarkan.

2. Langkah Pengembangan Tes
Ada sembilan langkah yang harus ditempuh dalam mengembangkan tes hasil atau prestasi belajar, yaitu: (a) menyusun spesifikasi tes, (b) menulis soal tes, (c) menelaah soal tes, (d) melakukan uji coba tes, (e) menganalisis butir soal, (f) memperbaiki tes, (g) merakit tes, (h) melaksanakan tes, dan (i) menafsirkan hasil tes. Khusus mengenai uji coba tes, dalam penyusunan tes untuk mengukur prestasi hasil pembelajaran yang diselenggarakan oleh guru di kelas seperti ulangan harian, ulangan umum, dan ulangan kenaikan kelas, tidak harus dilakukan secara tersendiri. Pembakuan tes dilakukan melalui beberapa kali ujicoba.
Langkah awal dalam mengembangkan tes adalah menetapkan spesifikasi tes, yaitu berisi uraian yang menunjukkan keseluruhan karakteristik yang harus dimiliki suatu tes. Spesifikasi yang jelas akan mempermudah dalam menulis soal, dan siapa saja yang menulis soal akan menghasilkan tingkat kesulitan yang relatif sama. Penyusunan spesifikasi tes mencakup kegiatan berikut ini: (a) menentukan tujuan tes, (b) menyusun kisi-kisi tes, (c) memilih bentuk tes, dan (d) menentukan panjang tes.

a. Kisi-Kisi Tes
Kisi-kisi merupakan matriks yang berisi spesifikasi soal-soal yang akan dibuat. Kisi-kisi ini merupakan acuan bagi penulis soal, sehingga siapapun yang menulis soal akan menghasilkan soal yang isi dan tingkat kesulitannya relatif sama. Matriks kisi-kisi soal terdiri dari dua jalur, yaitu kolom dan baris. Kolom menyatakan standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok, indikator, jenis tagihan, bentuk soal, dan contoh soal.

b. Pemilihan Bentuk Tes
Pemilihan bentuk tes yang tepat ditentukan oleh tujuan tes, jumlah peserta tes, waktu yang tersedia untuk memeriksa lembar jawaban tes, cakupan materi tes, dan karakteristik mata pelajaran yang diujikan. Bentuk tes objektif pilihan ganda dan bentuk tes benar salah sangat tepat digunakan bila jumlah peserta tes banyak, waktu koreksi singkat, dan cakupan materi yang diujikan banyak. Kelebihan tes objektif bentuk pilihan adalah lembar jawaban dapat diperiksa dengan komputer, sehingga objektivitas penskoran dapat dijamin. Namun membuat tes objektif yang baik tidak mudah.
Bentuk tes uraian objektif sering digunakan pada mata pelajaran yang batasnya jelas, misalnya mata pelajaran Fisika, Matematika, Kimia, Biologi, dan sebagainya. Soal pada tes ini jawabannya hanya satu, mulai dari memilih rumus yang tepat, memasukkan angka dalam rumus, menghitung hasil, dan menafsirkan hasilnya. Pada tes bentuk uraian objektif ini, sistem penskoran dapat dibuat dengan jelas dan rinci.

c. Panjang Tes
Panjang tes ditentukan oleh waktu yang tersedia untuk melakukan ujian dengan memperhatikan bahan yang diujikan dan tingkat kelelahan peserta tes. Pada umumnya tes dilakukan selama 90 menit sampai dengan 120 menit. Untuk tes bentuk pilihan ganda dengan tingkat kesulitan rata-rata sedang, tiap butir soal memerlukan waktu pengerjaan sekitar 1 menit. Untuk bentuk uraian banyaknya butir soal tergantung pada kompleksitas soal. Walau demikian disarankan menggunakan lebih banyak soal dibanding hanya beberapa soal agar kesahihan isi tes lebih baik.
Ada tiga hal utama yang harus dipertimbangkan dalam menentukan jumlah soal yang diujikan, yaitu : bobot masing-masing bagian yang telah ditentukan dalam kisi-kisi, keandalan yang diinginkan, dan waktu yang tersedia. Bobot skor tiap soal bisa ditentukan sebelum tes digunakan, yaitu berdasar tingkat kompleksitas atau kesulitannya, yang komplek atau sulit diberi bobot yang lebih tinggi dibanding dengan yang lebih mudah.
Pemberian bobot dapat pula dilakukan setelah tes digunakan, yaitu dengan menghitung simpangan baku tiap butir soal. Penentuan bobot didasarkan pada besarnya simpangan bakunya, seperti butir yang simpangan baku skornya besar diberi bobot besar. Demikian pula butir yang memiliki simpangan baku kecil diberi bobot kecil.
Jumlah soal yang diperlukan tiap jenis tes untuk suatu satuan waktu tertentu harus diperhitungkan dengan tepat. Hal ini untuk menjaga agar waktu yang disediakan tidak kurang atau berlebih.

B. Penyusunan Tes Kognitif dan Teknik Penskorannya
1. Bentuk Tes Kognitif

a. Tes Lisan di Kelas
Pertanyaan lisan dapat digunakan untuk mengetahui taraf serap peserta didik untuk masalah yang berkaitan dengan kognitif. Pertanyaan lisan yang diajukan ke kelas harus jelas, dan semua peserta didik harus diberi kesempatan yang sama. Dalam melakukan pertanyaan di kelas prinsipnya adalah: mengajukan pertanyaan, memberi waktu untuk berpikir, kemudian menunjuk peserta untuk menjawab pertanyaan. Baik benar atau salah jawaban peserta didik, jawaban tersebut ditawarkan lagi ke kelas untuk mengaktifkan kelas. Tingkat berpikir untuk pertanyaan lisan di kelas cenderung rendah, seperti pengetahuan dan pemahaman.

b. Bentuk Pilihan Ganda
Pedoman utama dalam pembuatan butir soal bentuk pilihan ganda (Ebel, 1977) adalah :
1) Pokok soal harus jelas.
2) Pilihan jawaban homogen dalam arti isi.
3) Panjang kalimat pilihan jawaban relatif sama.
4) Tidak ada petunjuk jawaban benar.
5) Hindari mengggunakan pilhan jawaban : semua benar atau semua salah.
6) Pilihan jawaban angka diurutkan.
7) Semua pilihan jawaban logis.
8) Jangan menggunakan negatif ganda.
9) Kalimat yang digunakan sesuai dengan tingkat perkembangan peserta tes.
10) Bahasa Indonesia yang digunakan baku.
11) Letak pilihan jawaban benar ditentukan secara acak.

c. Bentuk Uraian Objektif/terbatas
Bentuk soal uraian objektif sangat tepat digunakan untuk bidang Matematika dan IPA, karena kunci jawabannya hanya satu. Pengerjaan soal ini melalui suatu prosedur atau langkah-langkah tertentu. Setiap langkah ada skornya. Objektif di sini dalam arti apabila diperiksa oleh beberapa guru dalam bidang studi tersebut hasil penskorannya akan sama. Pertanyaan pada bentuk soal ini di antaranya adalah : hitunglah, tafsirkan, buat kesimpulan dan sebagainya.

d. Bentuk Uraian Non-objektif/uraian bebas
Bentuk tes ini dikatakan non-objektif karena penilaian yang dilakukan cenderung dipengaruhi subjektivitas dari penilai. Bentuk tes ini menuntut kemampuan peserta didik untuk menyampaikan, memilih, menyusun, dan memadukan gagasan atau ide yang telah dimilikinya dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Keunggulan bentuk tes ini dapat mengukur tingkat berpikir dari yang rendah sampai yang tinggi, yaitu mulai dari hapalan sampai dengan evaluasi. Namun demikian, sebaiknya hindarkan pertanyaan yang mengungkap hafalan seperti dengan pertanyaan yang dimulai dengan kata : apa, siapa, di mana. Selain itu bentuk ini relatif mudah membuatnya.
Kelemahan bentuk tes ini adalah : (1) penskoran sering dipengaruhi oleh subjektivitas penilai, (2) memerlukan waktu yang lama untuk memeriksa lembar jawaban, dan (3) cakupan materi yang diujikan sangat terbatas, (4) dan adanya efek bluffing. Untuk menghindari kelemahan tersebut cara yang ditempuh adalah : (1) jawaban tiap soal tidak panjang, sehingga bisa mencakup materi yang banyak, (2) tidak melihat nama peserta ujian, (3) memeriksa tiap butir secara keseluruhan tanpa istirahat,dan (4) menyiapkan pedoman penskoran.
Langkah membuat tes ini adalah sebagai berikut.
1) Menulis soal berdasarkan kisi-kisi pada indikator.
2) Mengedit pertanyaan :
a) Apakah pertanyaan mudah dimengerti?
b) Apakah data yang digunakan benar?
c) Apakah tata letak keseluruhan baik?
d) Apakah pemberian bobot skor sudah tepat?
e) Apakah kunci jawaban sudah benar?
f) Apakah waktu untuk mengerjakan tes cukup?

Kaidah penulisan soal bentuk uraian non-objektif :
1) Gunakan kata-kata: mengapa, uraikan, jelaskan, bandingkan, tafsirkan, hitunglah, buktikan.
2) Hindari penggunakan pertanyaan: siapa, apa, bila.
3) Menggunakan bahasa Indonesia yang baku.
4) Hindari penggunaan kata-kata yang dapat ditafsirkan ganda.
5) Buat petunjuk mengerjakan soal.
6) Buat kunci jawaban.
7) Buat pedoman penskoran.

Penskoran bentuk tes ini bisa dilakukan secara analitik atau global. Analitik berarti penskoran dilakukan bertahap sesuai kunci jawaban, sedang yang global dibaca secara keseluruhan untuk mengetahui ide pokok dari jawaban soal kemudian diberi skor.

e. Bentuk jawaban Singkat
Bentuk jawaban singkat ditandai dengan adanya tempat kosong yang disediakan bagi pengambil tes untuk menuliskan jawabannya sesuai dengan petunjuk. Ada tiga jenis soal bentuk ini, yaitu: jenis pertanyaan, jenis melengkapi atau isian, dan jenis identifikasi atau asosiasi. Kaidah-kaidah utama penyusunan soal bentuk ini adalah sebagai berikut.
1) Soal harus sesuai dengan indikator.
2) Jawaban yang benar hanya satu.
3) Rumusan kalimat soal harus komunikatif.
4) Butir soal menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

f. Bentuk Menjodohkan
Soal bentuk menjodohkan atau memasangkan terdiri dari suatu premis, suatu daftar kemungkinan jawaban, dan suatu petunjuk untuk menjodohkan masing-masing premis itu dengan satu kemungkinan jawaban. Biasanya nama, tanggal/tahun, istilah, frase, pernyataan, bagian dari diagram, dan yang sejenisnya digunakan sebagai premis. Hal-hal yang sama dapat pula digunakan sebagai alternatif jawaban. Kaidah-kaidah pokok penulisan soal jenis menjodohkan ini adalah sebagai berikut.
1) Soal harus sesuai dengan indikator.
2) Jumlah alternatif jawaban lebih banyak dari pada premis.
3) Alternatif jawaban harus "nyambung" atau berhubungan secara logis dengan premisnya.
4) Rumusan kalimat soal harus komunikatif.
5) Butir soal menggunakan Bahasa Indonesiayang baik dan benar.

g. Unjuk Kerja/Performance
Penilaian unjuk kerja sering disebut dengan penilaian autentik atau penilaian alternatif yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan masalah-masalah di kehidupan nyata. Penilaian unjuk kerja berdasarkan pada analisis pekerjaan (Nathan & Cascio, 1986). Penilaian ini menggunakan tes yang juga disebut dengan tes unjuk kerja. Hasil tes ini digunakan untuk perbaikan proses pembelajaran sehingga kemampuan peserta didik mencapai pada tingkat yang diinginkan. Tes unjuk kerja lebih banyak digunakan pada mata pelajaran yang ada prakteknya.
Bentuk tes ini digunakan untuk mengukur status peserta didik berdasarkan hasil kerja dari suatu tugas. Pertanyaan pada tes unjuk kerja berdasarkan pada tuntutan dari masyarakat dan lembaga lain yang terkait dengan pengetahuan yang harus dimiliki peserta didik. Jadi pertanyaan butir soal cenderung pada tingkat aplikasi suatu prinsip atau konsep pada situasi yang baru. Walau uraian namun batasnya harus jelas dan ditentukan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Permasalahan yang diujikan sedapat mungkin sama dengan masalah yang ada di kehidupan nyata. Inilah yang menjadi ciri utama perbedaan antara tes unjuk kerja dengan bentuk yang konvensional.

h. Portfolio
Portfolio adalah kumpulan pekerjaan seseorang (Popham, 1999), dalam bidang pendidikan berarti kumpulan dari tugas-tugas peserta didik. Portfolio merupakan salah bentuk dari penilaian autentik, yaitu yang menilai keadaan sesungguhnya, dari peserta didik. Portfolio cocok digunakan untuk penilaian di kelas, tetapi tidak cocok untuk penilaian dengan skala yang luas (Marzano & Kendall, 1996). Penilaian dengan portfolio memerlukan kemampuan membaca yang baik. Hal yang penting pada penilaian portfolio adalah mampu mengukur kemampuan membaca dan menulis yang lebih luas, peserta didik menilai kemajuannya sendiri, mewakili sejumlah karya seseorang.

Penilaian porfolio pada dasarnya adalah menilai karya-karya individu untuk suatu mata pelajaran tertentu. Jadi semua tugas yang dikerjakan peserta didik dikumpulkan, dan di akhir satu unit program pembelajaran misalnya satu semester. Kemudian dilakukan diskusi antara peserta didik dan guru untuk menentukan skornya. Prinsip penilaian portfolio adalah peserta didik dapat melakukan penilaian sendiri kemudian hasilnya di bahas. Bentuk ujiannya cenderung bentuk uraian, dan tugas-tugas rumah. Karya yang dinilai meliputi hasil ujian, tugas mengarang atau mengerjakan soal. Jadi portfolio adalah suatu metode pengukuran dengan melibatkan peserta didik untuk menilai kemajuannya dalam bidang studi tersebut.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penilaian portfolio adalah sebagai berikut.
1) Karya yang dikumpulkan adalah benar-benar karya yang bersangkutan.
2) Menentukan contoh pekerjaan mana yang harus dikumpulkan.
3) Mengumpulkan dan menyimpan sampel karya.
4) Menentukan kriteria untuk menilai portfolio.
5) Meminta peserta didik untuk menilai secara terus menerus hasil portfolionya.
6) Merencanakan pertemuan dengan peserta didik yang dinilai.
7) Dapat melibatkan orang tua dalam menilai portfolio.

Penilaian dengan portfolio memiliki karakteristik tertentu, sehingga penggunaannya juga harus sesuai dengan tujuan dan substansi yang diukur. Mata pelajaran yang memiliki banyak tugas dan jumlah peserta didik yang tidak banyak, penilaian dengan cara portfolio akan lebih cocok.

2. Pedoman Penskoran Tes Kognitif
Pedoman penskoran sangat diperlukan, terutama untuk soal bentuk uraian, agar subjektivitas korektor dapat diperkecil. Pedoman penskoran ini merupakan petunjuk yang menjelaskan tentang : batasan atau kata-kata kunci untuk melakukan penskoran terhadap soal bentuk uraian, dan kriteria jawaban yang digunakan untuk melakukan penskoran pada soal bentuk uraian non-objektif.
Pedoman pemberian skor untuk setiap butir soal uraian harus disusun segera setelah perumusan kalimat-kalimat butir soal tersebut.

a. Contoh Penskoran Soal Bentuk Pilihan Ganda
Cara penskoran tes bentuk pilihan ada dua, yaitu: pertama tanpa ada koreksi terhadap jawaban tebakan, dan yang kedua adalah dengan koreksi terhadap jawaban tebakan.


1). Penskoran tanpa koreksi terhadap jawaban tebakan adalah satu untuk tiap butir yang dijawab benar, sehingga jumlah sekor yang diperoleh peserta didik adalah banyaknya butir yang dijawab benar.



B = banyaknya butir yang dijawab benar
N = adalah banyaknya butir soal
Contohnya adalah sebagai berikut :
Banyaknya soal tes ada 40 butir.
Banyaknya jawaban yang benar ada 20.
Jadi skor yang dicapai seseorang:



2) Penskoran dengan koreksi terhadap jawaban tebakan adalah sebagai berikut:



B = banyaknya butir soal yang dijawab benar
S = banyaknya butir yang dijawab salah
P = banyaknya pilihan jawaban tiap butir.
N = banyaknya butir soal
Butir soal yang tidak dijawab diberi skor 0.

Contoh :
Soal bentuk pilihan ganda yang terdiri dari 40 butir soal dengan 4 pilihan tiap butir, dan banyaknya 40 butir. Bila banyaknya butir yang dijawab benar ada 20, yang dijawab salah ada 12, dan tidak dijawab ada 8, maka skor yang diperoleh adalah:



b. Contoh Pedoman Penskoran Soal Uraian Objektif
Indikator : Peserta didik dapat menghitung isi bangun ruang (balok) dan mengubah satuan ukurannya.


Pedoman penskoran uraian objektif

Langkah Kunci Jawaban Skor
1 Isi Balok = Panjang x Lebar x Tinggi 1
2 = 150 cm x 80 cm x 75 cm 1
3 = 900.000 cm3
Isi bak mandi dalam liter :

4 900.000
=  liter
1000
1
5 = 900 liter 1
Skor Maksimum 5

Butir Soal : Sebuah bak mandi berbentuk balok berukuran panjang 150 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 75 cm. Berapa liter-kah isi bak mandi tersebut? (untuk menjawabnya, tuliskan langkah-langkahnya!).

c. Contoh Pedoman Penskoran Soal Uraian Non-objektif :
Indikator : Peserta didik dapat mendeskripsikan alasan warga negara Indonesia bangga menjadi bangsa Indonesia.
Butir Soal : Tuliskan alasan-alasan yang membuat Anda berbangga sebagai bangsa Indonesia!

Pedoman Penskoran
Jawaban boleh bermacam-macam namun pada pokok jawaban tadi dapat dikelompokkan sebagai berikut.

Kriteria Jawaban Rentang Skor
Kebanggaan yang berkaitan dengan kekayaan alam Indonesia 0 – 2
Kebanggaan yang berkaitan dengan keindahan tanah air Indonesia (pemandangan alamnya, geografisnya, dll) 0 – 2
Kebanggaan yang berkaitan dengan keanekaragaman budaya, suku, adat istiadat tetapi tetap bersatu. 0 – 2
Kebanggaan yang berkaitan dengan keramahtamahan masyarakat Indonesia. 0 – 2
Skor maksimum 8



d. Pembobotan Soal Uraian
Pembobotan soal adalah pemberian bobot kepada suatu soal dengan cara membandingkannya dengan soal lain dalam suatu perangkat tes yang sama. Dengan demikian, pembobotan soal uraian hanya dapat dilakukan dalam penyusunan perangkat tes. Apabila suatu soal uraian berdiri sendiri maka tidak dapat dihitung atau ditetapkan bobotnya.
Bobot setiap soal ujian yang ada dalam suatu perangkat tes ditentukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan materi dan karakteristik soal itu sendiri, seperti luas lingkup materi yang hendak dibuatkan soalnya, esensialitas dan tingkat kedalaman materi yang ditanyakan.dan tingkat kesukaran soal tersebut.
Selain faktor-faktor tersebut, hal yang perlu pula dipertimbangkan dalam pembobotan soal uraian adalah skala penskoran yang hendak digunakan, misalnya skala 10, atau skala 1OO. Apabila digunakan skala 100 maka jika semua butir soal dijawab benar, skornya 100; demikian pula bila skala yang digunakan 10. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan Perhitungan skor.
Skor jadi yang diperoleh peserta didik yang menjawab suatu butir soal uraian ditetapkan dengan jalan membagi skor mentah yang diperoleh dengan skor mentah maksimumnya kemudian dikalikan dengan bobot soal tersebut. Rumus yang dipakai untuk penghitungan skor butir soal (SBS) adalah :

a
SBS =  x c
b

SBS = skor butir soal
a = skor mentah yang diperoleh peserta didik untuk butir soal
b = skor mentah maksimum soal
c = bobot soal

Setelah diperoleh skor butir soal (SBS) maka dapat dihitung total skor butir soal berbagai skor total peserta didik (STP) untuk serangkaian soal dalam tes yang bersangkutan, dengan menggunakan rumus :

STP = Σ SBS

Keterangan :
STP = skor total peserta
SBS = skor butir soal


Contoh 1. Bobot soal sama, dengan skala 0 sampai dengan 100

No. Soal Skor Mentah Perolehan Skor Mentah Maksimum Bobot Soal Skor Bobot Soal
(a) (b) (c) (SBS)
01 30 60 20 10,00
02 20 40 30 15,00
03 10 20 30 15,00
04 20 20 20 20,00
Jumlah 80 140 100 60,00
(STP)


Contoh 2. Bila STP  Total Bobot Soal dan Skala 100

No. Soal Skor Mentah Perolehan Skor Mentah Maksimum Bobot Soal Skor Bobot Soal
(a) (b) (c) (SBS)
01 30 60 20 10,00
02 40 40 30 30,00
03 20 20 30 30,00
04 10 20 20 10,00
Jumlah 100 140 100 10,00
(STP)


Pada dasarnya skor total peserta didik (STP) merupakan penjumlahan skor tiap butir soal (SBS), botot tiap soal sama semuanya. Contoh ini berlaku untuk soal uraian objektif dan uraian non-objektif, asalkan bobot semua butir soal sama.

e. Pembobotan Soal Bentuk Campuran
Dalam beberapa situasi bisa digunakan soal bentuk campuran, yaitu bentuk pilihan danbentuk uraian. Pembobotan soal bagian soal bentuk pilihan ganda dan bentuk uraian ditentukan oleh cakupan materi dan kompleksitas jawaban atau tingkat berpikir yang terlibat dalam mengerjakan soal. Pada umumnya cakupan materi soal bentuk pilihan ganda lebih banyak, sedang tingkat berpikir yang terlibat dalam mengerjakan soal bentuk uraian biasanya lebih banyak dan lebih tinggi.
Suatu ulangan terdiri dari N1 soal pilihan ganda dan N2 soal uraian. Bobot untuk soal pilihan ganda adalah w1 dan bobot untuk soal uraian adalah w2. Jika seorang peserta didik menjawab benar n1 pilihan ganda, dan n2 soal uraian, maka peserta didik itu mendapat skor:

n1 n2
w1x  x 100 + w2x  x 100
N1 n2

Misalkan suatu ulangan terdiri dari 20 bentuk pilihan ganda dengan 4 pilihan, dan 4 buah soal bentuk uraian. Soal pilihan ganda bisa dijawab benar 16 dan dijawab salah 4, sedang bentuk uraian bisa dijawab benar 20 dari skor maksimum 40. Apabila bobot pilihan ganda adalah 0,40 dan bentuk uraian 0,60, maka skor yang diperoleh dapat dihitung sebagai berikut:
a) Skor pilihan ganda tanpa koreksi jawban dugaan: (16/20) x 100 = 80
b) Skor bentuk uraian adalah: (20/40) x 100 = 50.
c) Skor akhir adalah: 0,4 x (80) + 0,6 x (50) = 62.

C. Penyusunan Instrumen Afektif dan Teknik Penskorannya
1. Penyusunan Instrumen Afektif
Komponen afektif ikut menentukan keberhasilan belajar peserta didik. Paling tidak ada dua komponen afektif yang penting untuk diukur, yaitu sikap dan minat terhadap suatu pelajaran. Sikap peserta didik terhadap pelajaran bisa positif bisa negatif atau netral. Tentu diharapkan sikap peserta didik terhadap semua mata pelajaran positif sehingga akan timbul minat untuk belajar atau mempelajarinya. Peserta didik yang memiliki minat pada pelajaran tertentu bisa diharapkan prestasi belajarnya akan meningkat secara oprtimal, bagi yang tidak berminat sulit untuk meningkatkan prestasi belajarnya. Oleh karena itu, guru memiliki tugas untuk membangkitkan minat kemudian meningkatkan minat peserta didik terhadap mata pelajaran yang diampunya. Dengan demikian akan terjadi usaha yang sinergi untuk meningkatkan kualitias proses pembelajaran.
Langkah pembuatan instrumen afektif termasuk sikap dan minat adalah sebagai berikut :
a. Pilih ranah afektif yang akan dinilai, misalnya sikap atau minat.
b. Tentukan indikator minat: misalnya kehadiran di kelas, banyak bertanya, tepat waktu mengumpulkan tugas, catatan di buku rapi, dan sebagainya. Hal ini selanjutnya ditanyakan pada peserta didik.
c. Pilih tipe skala yang digunakan, misalnya Likert dengan 5 skala: sangat berminat, berminat, sama saja, kurang berminat, dan tidak berminat.
d. Telaah instrumen oleh sejawat.
e. Perbaiki instrumen.
f. Siapkan kuesioner atau inventori laporan diri.
g. Skor inventori.
h. Analisis hasil inventori skala minat dan skala sikap.


2. Teknik Penskoran Pengukuran Afektif
Misal dari instrumen untuk mengukur minat peserta didik yang telah berhasil dibuat ada 10 butir. Jika rentangan yang dipakai adalah 1 sampai 5, maka skor terendah seorang peserta didik adalah lO, yakni dari 10 x 1 dan skor tertinggi sebesar 50, yakni dari 10 x 5. Dengan demikian, mediannya adalah (10 + 50)/2 atau sebesar 30. Jika dibagi menjadi 4 kategori, maka skala 10 - 20 termasuk tidak berminat, 21 sampai 30 kurang berminat, 31 - 40 berminat, dan skala 41 - 50 sangat berminat.

D. Penyusunan Tes Psikomotor dan Teknik Penskorannya
1. Penyusunan Tes Psikomotor
a. Bentuk Tes Psikomotor
Tes untuk mengukur ranah psikomotor adalah tes untuk mengukur penampilan atau kinerja (performance) yang telah dikuasai peserta didik. Tes tersebut menurut Lunetta dkk. (1981) dapat berupa tes paper and pencil, tes identifikasi, tes simulasi, dan tes unjuk kerja.
1) Tes paper and pencil : walaupun bentuk aktivitasnya seperti tes tulis, namun yang menjadi sasarannya adalah kemampuan peserta didik dalam menampilkan karya, misal berupa desain alat, desain grafis, dan sebagainya.
2) Tes identifikasi : tes ini lebih ditujukan untuk mengukur kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi sesuatu hal, misal menemukan bagian yang rusak atau yang tidak berfungsi dari suatu alat.
3) Tes simulasi : tes ini dilakukan jika tidak ada alat yang sesungguhnya yang dapat dipakai untuk memperagakan penampilan peserta didik, sehingga dengan simulasi tetap dapat dinilai apakah seseorang sudah menguasai keterampilan dengan bantuan peralatan tiruan atau berperaga seolah-olah menggunakan suatu alat.
4) Tes unjuk kerja (work sample) : tes ini dilakukan dengan alat yang sesungguhnya dan tujuannya untuk mengetahui apakah peserta didik sudah menguasai/terampil menggunakan alat tersebut.
Tes penampilan/perbuatan, baik berupa tes identifikasi, tes simulasi, ataupun unjuk kerja, semuanya dapat diperoleh datanya dengan menggunakan daftar cek (check-list) ataupun skala penilaian (rating scale). Daftar cek maupun skala penilaian juga dapat dipakai sebagai "lembar penilaian" atau alat untuk observasi dalam rangka pengukuran yang bebas waktunya, dalam arti tidak dilakukan dalam suasana ujian secara formal. Misalnya dipakai alat observasi saat peserta didik mengerjakan praktikum dalam upaya memperoleh data selama peserta didik melakukan proses pembelajaran praktek di laboratorium.
Daftar cek lebih praktis jika digunakan untuk menghadapi subjek dalam jumlah besar atau jika perbuatan yang dinilai memiliki resiko tinggi, misalnya dalam kegiatan praktek laboratorium yang mengggunakan peralatan yang mahal, untuk menilai apakah seseorang sudah mampu menggunakan mikroskop akan lebih tepat menggunakan daftar cek.
Skala penilaian cocok untuk menghadapi subjek yang sedikit. Perbuatan yang diukur menggunakan alat ukur berupa skala penilaian terentang dari sangat tidak sempurna sampai sangat sempurna. Jika Dibuat skala 5, maka skala 1 paling tidak sempurna dan skala 5 paling sempurna.

b. Penyusunan Butir Soal Bentuk Daftar Cek
Daftar cek berisi seperangkat butir soal yang mencerminkan rangkaian tindakan/perbuatan yang harus ditampilkan oleh peserta ujian, yang merupakan indikator-indikator dari keterampilan yang akan diukur. Oleh karena itu dalam menyusun daftar cek hendaknya: (1) carilah indikator-indikator penguasaan keterampilan yang diujikan, (2) susunlah indikator-indikator tersebut sesuai dengan urutan penampilannya. Kemudian dilakukan pengamatan terhadap subjek yang dinilai untuk melihat pemunculan indikator-indikator yang dimaksud. Jika indikator tersebut muncul, maka diberi tanda V atau tulis kata "ya" pada tempat yang telah disediakan.
Misal akan dilakukan pengukuran terhadap keterampilan peserta didik menggunakan termometer badan. Untuk itu dicari indikator-indikator apa saja yang menunjukkan peserta didik terampil menggunakan termometer tersebut, misal indikator-indikatornya sebagai berikut :
1) Cara mengeluarkan termometer dari tempatnya.
2) Cara menurunkan posisi air raksa serendah-rendahnya.
3) Cara memasang termometer pada tubuh orang yang diukur suhunya.
4) Lama waktu pemasangan termometer pada tubuh orang yang diukur suhunya.
5) Cara mengambil termometer dari tubuh tubuh orang yang diukur suhunya.
6) Cara membaca tinggi air raksa dalam pipa kapiler termometer.

Peserta didik dinyatakan terampil dalam hal tersebut jika ia mampu melakukan urutan kegiatan berikut dengan benar. Setelah diperoleh indikator-indikatornya, kemudian disusun butir soalnya dalam bentuk daftar cek sebagai berikut.

Beri tanda V untuk setiap penampilan yang benar dari setiap tindakan yang dilakukan peserta didik seperti yang diuraikan di bawah ini !

.....1) Mengeluarkan termometer dari tempatnya dengan memegang bagian ujung yang tak berisi air raksa.
.....2) Menurunkan posisi air raksa dalam pipa kapiler termometer serendah -rendahnya.
.....3) Memasang termometer pada tubuh pasien (di mulut, di ketiak atau di dubur) sehingga bagian yang berisi air raksa kontak dengan tubuh orang yang diukur suhunya.
.....4) Menunggu beberapa menit termometer tinggal pada tubuh orang yang diukur.
.....5) Mengambil termometer dari tubuh orang yang diukur dengan memegang bagian ujung yang tidak berisi air raksa.
.....6) Membaca tinggi air raksa dalam pipa kapiler termometer dengan posisi mata tegak lurus.

Jadi, karakteristik butir-butirnya mengandung uraian/pernyataan tentang ranah perbuatan yang sudah pasti, tinggal perbuatan itu muncul atau tidak.

c. Penyusunan Butir Soal Bentuk Skala Penilaian
Pada prinsipnya penyusunan skala penilaian tidak berbeda dengan penyusunan daftar cek, yaitu mencari indikator-indikator yang mencerminkan keterampilan yang akan diukur, yang berbeda adalah cara penyajiannya. Dalam skala penilaian, setelah diperoleh indikator-indikator keterampilan, selanjutnya ditentukan skala penilaian untuk setiap indikator. Misal, skala 5 jika suatu indikator dikerjakan dengan sangat tepat, 4 jika tepat, 3 jika agak tepat, 2 tidak tepat, dan 1 sangat tidak tepat. Jadi, pada prinsipnya ada tingkat-tingkat penampilan untuk setiap indikator keterampilan yang akan diukur.
Untuk mengukur keterampilan peserta didik menggunakan termometer badan disusun skala penilaian sebagai berikut.

Lingkari angka 5 jika sangat tepat, angka 4 jika tepat, angka 3 jika agak tepat, angka 2 jika tidak tepat dan angka 1 jika sangat tidak tepat untuk setiap tindakan di bawah ini!

5 4 3 2 1 Cara mengeluarkan termometer dari tempatnya.
5 4 3 2 1 Cara menurunkan posisi air raksa serendah-rendahnya.
5 4 3 2 1 Cara memasang termometer pada tubuh orang yang diukur suhunya.
5 4 3 2 1 Lama waktu pemasangan thermometer pada orang yang diukur suhunya.
5 4 3 2 1 Cara mengambil termometer dari tubuh orang yang diukur suhunya.
5 4 3 2 1 Cara membaca tinggi air raksa dalam pipa kapiler termometer.

Dalam hal ini, akan lebih akurat bila ada kriteria dari tiap butir yang direntang mulai dari skala 1 sampai 5. Dengan demikian, penilai yang manapun akan dengan tepat dapat menilai karena sudah ada kriteria bahwa seseorang diberi skala 1 untuk langkah yang menyangkut cara mengeluarkan termometer dari tempatnya karena demikian, dan diberi skala 2 karena demikian, dan seterusnya sampai kapan ia diberi skala 5. Kriteria tiap skala untuk setiap butir/langkah juga harus sudah dihafal oleh penilai. Jadi jika dilakukan penilaian oleh banyak ada keseragaman antar penilai.

2. Teknik Penskoran Tes Psikomotor
Dari contoh cara pengukuran suhu badan menggunakan skala penilaian, ada 6 butir soal yang dipakai untuk mengukur kemampuan seorang peserta didik jika untuk butir 1 peserta didik yang bersangkutan memperoleh skor 5 berarti sempurna/benar, butir 2 memperoleh skor 4 berarti benar tetapi kurang sempurna, butir 3 memperoleh skor 4 berarti juga benar tetapi kurang sempurna, butir 4 memperoleh skor 3 berarti kurang benar, butir 5 memperoleh skor 3 berarti kurang benar, dan butir 6 juga memperoleh skor 3 berarti kurang benar, maka total skor yang dicapai peserta didik tersebut adalah (5 + 4 + 4 + 3 + 3 +3) atau = 22. Seorang peserta didik yang gagal akan memperoleh skor 6, dan yang berhasil melakukan dengan sempurna memperoleh skor 30; maka median skornya adalah (6 + 30)/2 = 18. Jika dibagi menjadi 4 kategori, maka yang memperoleh skor 6 - 12 dinyatakan gagal, skor 13 - 18 berarti kurang berhasil, skor 19 - 24 dinyatakan berhasil, dan skor 25 – 30 dinyatakan sangat berhasil. Dengan demikian peserta didik dengan skor 21 dapat dinyatakan sudah berhasil tetapi belum sempurna/belum sepenuhnya baik jika sifat keterampilannya adalah absolut, maka setiap butir harus dicapai dengan sempurna (skala 5). Dengan demikian hanya peserta didik yang memperoleh skor total 30 yang dinyatakan berhasil dan dengan kategori sempurna.



DAFTAR PUSTAKA


Arikunto, Suharsini. (2000). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Dali S. Naga. (1992). Pengantar Teori Sekor pada Pengukuran Pendidikan. Jakarta: Gunadarma

Ebel, R. L. (1979). Essentials of education measurement. New Jersey: Prentice Hall.

Marzano, R. J., & Kendall, J. S. (1996). Designing standards-based districts, schools, and classrooms. Alexanderia, Virginia: ASCD Publication.

Nathan, B. R. & Cascio, W. F. (1986). Technical and legal aspects in Berk, R. A. (edit. 1986). Performance assessment. Baltimore: John Hopkin Univ. Press.

Popham, W. J. (1st ed. 1995). Classroom Asessment: What Teachers Need to Know. Mass: Allyn-Bacon.

Sodikun, Imam. (2005). Kumpulan Makalah: Penilaian dan Evaluasi Pendidikan dalam Berbagai Seminar dan Pelatihan. Padang: Program Pascasarjana UNP.

Thorndike, R. L., & Hagen, E. P. (1977). Measurement and evaluation in psychology and education. New York: John Wiley & Sons.

Yusuf, A. Muri. (2005). Dasar-dasar dan Teknik Evaluasi Pendidikan. Padang: Universitas Negeri Padang.

Kamis, 08 April 2010

KTSP

PENGERTIAN KTSP
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karakteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan karakteristik peserta didik. Sekolah dan Komite Sekolah, atau Madrasah dan Komite Madrasah mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan silabus berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi kelulusan.
KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan, dan dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan dengan memperhatikan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan Badan Standar Nasional Pendidikan ( BSNP )
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diharapkan menampilkan kekhasan atau keunggulan masing-masing satuan pendidikan, sebelum menyusun KTSP satuan pendidikan terlebih dahulu perlu melakukan kajian atau analisis tentang potensi kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan yang dihadapi baik pada saat ini maupun masa datang. Hasil analisis ini akan menjadi acuan dalam pengembangan visi, misi, strategi, dan program-program pembelajaran yang relevan dengan kondisi, potensi dan kebutuhan peserta didik serta daerah sekitarnya.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.
Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi , kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran merupakan bagian dari perencanaan proses pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar.
Penugasan Terstruktur adalah kegiatan pembelajaran yang berupa pendalaman materi pembelajaran oleh peserta didik yang dirancang oleh pendidik untuk mencapai standar kompetensi. Waktu penyelesaian penugasan terstruktur ditentukan oleh pendidik.
Secara umum tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum. Secara khusus tujuan diterapkannya KTSP adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia.
2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama.
3. Meningkatkan kompetensi yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai.
LANDASAN KTSP

a. UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
b. PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
c. Permendiknas No. 22/2006 tentang Standar Isi
d. Permendiknas No. 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
e. Permendiknas No. 24/2006 tentang pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23/2006
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada bagian penjelasan mengamanatkan bahwa salah satu strategi pembangunan pendidikan nasional adalah pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi, arah proses pembelajarannya berupaya setiap siswanya berpeluang belajar merefleksikan pengetahuan, keterampilan dan sikap secara utuh dalam kehidupan sehari-hari.
KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan dan dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan yang sudah siap dan mampu mengembangkannya dengan memperhatikan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 36:
• Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
• Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversivikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik.
• Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan standar isi serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP.
Pemberlakuan KTSP, sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan SI dan SKL, ditetapkan oleh kepala sekolah setelah memperhatikan pertimbangan dari komite sekolah. Dengan kata lain, pemberlakuan KTSP sepenuhnya diserahkan kepada sekolah, dalam arti tidak ada intervensi dari Dinas Pendidikan atau Departemen Pendidikan Nasional. Penyusunan KTSP selain melibatkan guru dan karyawan juga melibatkan komite sekolah serta bila perlu para ahli dari perguruan tinggi setempat. Dengan keterlibatan komite sekolah dalam penyusunan KTSP maka KTSP yang disusun akan sesuai dengan aspirasi masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat.



KARAKTERISTIK KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
Karakteristik kurikulum berbasis kompetensi antara lain mencakup seleksi kompetensi yang sesuai, spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan kesuksesan pencapaian kompetensi dan pengembangan sistem pembelajaran. Kurikulum berbasis kompetensi juga memiliki sejumlah kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik, penilaian dilakukan berdasarkan standar khusus sebagai hasil demonstrasi kompetensi yang ditunjukkan oleh peserta didik. Pembelajaran telah menekankan pada kegiatan individual personal untuk menguasai kompetensi yang dipersyaratkan, peserta didik dapat dinilai kompetensinya kapan saja dan bila mereka telah siap, dan dalam pembelajaran peserta didik dapat maju sesuai dengan kecepatan dan kemampuan masing-masing.
Depdiknas (2002 ) mengemukakan bahwa kurikulum berbasis kompetensi memilki karakteristik sbb:
1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
2. Berorientasi pada hasil belajar ( learning outcomes ) dan keberagaman.
3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan-pendekatan metode yang bervariasi.
4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memiliki unsur educatif.
5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
KTSP dikembangkan oleh masing-masing satuan pendidikan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. memiliki visi dan misi yang dikembangkan berdasarkan potensi, kondisi, dan kebutuhan satuan pendidikan yang bersangkutan,
2. kegiatan belajar-mengajar berpusat pada peserta didik, megembangkan kreativitas, menciptakan kondisi yang menyenangkan, menantang dan kontekstual,
3. penilaian berbasis kelas yang bersifat internal sebagai bagian dari proses pembelajaran dan berorientasi pada kompetensi serta patokan ketuntasan belajar yang diperoleh melalui berbagai cara, tes dan non tes, kumpulan kerja siswa, hasil karya, penugasan, unjuk kerja dan tes tertulis,
4. pengelolaan satuan pendidikan lebih bersifat "school based management" untuk: pencapaian visi dan misi sekolah, pengembangan perangkat kurikulum oleh sekolah, pemberdayaan tenaga pendidikan dan sumber daya lainnya, kolaborasi secara horizontal dengan sekolah lain dan komite sekolah serta organisasi profesi, serta kolaborasi secara vertikal dengan Dinas dan Dewan Pendidikan.
5. KTSP memberi kebebasan kepada tiap-tiap sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah, kemampuan peserta didik, sumber daya yang tersedia dan kekhasan daerah.
6. Orang tua dan masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.
7. Guru harus mandiri dan kreatif.
8. Guru diberi kebebasan untuk memanfaatkan berbagai metode pembelajaran.
Beberapa ciri terpenting dari KTSP adalah sebagai berikut :
a. KTSP menganut prinsip Fleksibilitas
b. KTSP membutuhkan pemahaman dan keinginan sekolah untuk mengubah kebiasaan lama yakni pada kebergantungan pada birokrat.
c. Guru kreatif dan siswa aktif.
d. KTSP dikembangkan dengan prinsip diversifikasi.
e. KTSP sejalan dengan konsep desentralisasi dan MBS ( Manajemen Berbasis Sekolah )
f. KTSP tanggap terhadap perkembangan iptek dan seni.
g. KTSP beragam dan terpadu



PRINSIP-PRINSIP PENGEMBANGAN KTSP
Guru sebagai pembuat dan pelaksana serta pengembang KTSP melakukan koordinasi, kerjasama dengan semua unsur intern dan ekstern satuan pendidikan. Koordinasi diperlukan dalam menyikapi inovasi pendidikan, khususnya mengimplementasikan KTSP. Prinsip dasar dalam koordinasi adalah adanya “kesamaan visi” dan “kesamaan langkah” semua unsur intern dan ekstern satuan pendidikan.
Prinsip manajemen yaitu P (Planning), O (Organizing), A (Actuating), dan C (Controlling) serta R (Reporting) tetap diperlukan oleh guru sebagai pengembang KTSP sebagai bahan pertimbangan memperbaiki KTSP tahun pelajaran berikutnya. KTSP dievaluasi dan disempurnakan serta ditetapkan setiap awal tahun pelajaran oleh Kepala Sekolah dan direkomendasi Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten.
Prinsip dasar KBM memberdayakan semua potensi yang dimiliki siswa, mengembangkan inovasi dan kreativitas siswa, menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang, mengembangkan beragam kemampuan yang bermuatan nilai, menyediakan pengalaman belajar yang beragam dan belajar melalui berbuat, sehingga mereka akan mampu meningkatkan pemahamannya terhadap fakta/konsep/prinsip dalam kajian ilmu yang dipelajarinya yang akan terlihat dalam kemampuannya untuk berpikir logis, kritis, dan kreatif.
Prinsip KBM di atas akan mencapai hasil yang maksimal dengan memadukan berbagai metode dan teknik serta media pembelajaran yang memungkinkan semua indera digunakan sesuai dengan karakteristik masing-masing pelajaran.
Penilaian berbasis kelas merupakan suatu kegiatan pengumpulan informasi tentang proses dan hasil belajar siswa yang dilakukan oleh guru yang bersangkutan sehingga penilaian tersebut akan “mengukur apa yang hendak diukur” dari siswa. Prinsip penilaian berbasis kelas tidak terpisahkan dari KBM, menggunakan acuan patokan, menggunakan berbagai cara penilaian (tes dan non tes), mencerminkan kompetensi siswa secara komprehensif, berorientasi pada kompetensi, valid, adil, terbuka, berkesinambungan, bermakna, dan mendidik seta dilakukan oleh guru dan siswa. Hal ini perlu dilakukan bersama karena hanya guru yang bersangkutan yang paling tahu tingkat pencapaian belajar siswa yang diajarnya.
Setelah melakukan serangkaian penilaian yang sesuai dengan prinsip-prinsip di atas, maka orang tua siswa akan menerima laporannya secara komunikatif dengan menitik beratkan pada kompetensi yang telah dicapai oleh anaknya di sekolah.
Pengelolaan KTSP mengacu pada “kesatuan dalam kebijaksanaan dan keberagaman dalam pelaksanaan”, “kesatuan dalam kebijaksanaan” ditandai dengan sekolah-sekolah menggunakan perangkat dokumen KTSP yang “sama” dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan “Keberagaman dalam pelaksanaan” ditandai dengan keberagaman silabus yang akan dikembangkan oleh sekolah masing-masing sesuai dengan karakteristik sekolahnya sehingga banyak pihak/instansi yang akan berperanan dan bertanggung jawab dalam melaksanakannya, misalnya: sekolah, kepala sekolah, guru, dinas pendidikan kebupaten atau kota, dinas pendidikan propinsi dan DEPDIKNAS.
Prinsip keberagaman dalam pelaksanaan KTSP maka setiap sekolah dan guru dilapangan mempunyai tanggung jawab untuk menterjemahkan KTSP ke dalam bentuk silabus yang akan mereka gunakan dalam pembelajaran di dalam kelas. Silabus yang dibuat oleh masing-masing sekolah dan guru tersebut disusun berdasarkan karakteristik sekolahnya, baik dari aspek kemampuan sekolah, kemampuan guru, kemampuan siswa, sarana/prasarana yang dimiliki sekolah dan sebagainya. Selain itu dalam menyusun silabus tidak ada “acuan” baku mengenai format dan isinya sehingga guru diberi keleluasaan yang besar untuk mengapresiasikan kemampuannya menerjemahkan KTSP. Dalam penyusunan silabus dapat dilakukan dengan melibatkan para ahli atau instansi yang relevan di daerah setempat seperti tokoh masyarakat, instansi pemerintah, komite sekolah, dewan pendidikan, instansi swasta, perusahaan, perindustrian, dan sebagainya.
Penyeragaman kurikulum dari Sabang sampai Merauke, tidak melihat pada situasi riil di lapangan, dan kurang menghargai potensi keunggulan lokal. Sekolah di kota sama dengan sekolah di pelosok pedalaman. Sekolah di daerah perindustrian sama dengan sekolah yang daerah pesisir pantai, sekolah di pusat ibu kota sama dengan di wilayah pedesaan berakibat kurikulum tersebut menjadi kurang operasional, sehingga tidak memberikan kompetensi yang cukup bagi peserta didik untuk mengembangkan diri dan daerahnya sehingga para lulusan merasa kalah bersaing di dunia kerja dan berimplikasi terhadap peningkatan angka pengangguran.
Melalui KTSP kiranya perbedaan guru dengan dosen mulai dikurangi sedikit demi sedikit. Satu hal yang mulai ada kesamaan adalah tentang keleluasaan dalam menyusun kurikulum, guru dan dosen sama-sama memiliki otonomi. Dengan adanya otonomi guru, kreativitas guru akan muncul karena guru dapat menjadi konseptor-konseptor yang siap
Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam persyaratan kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar isi merupakan pedoman untuk pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang memuat:
• kerangka dasar dan struktur kurikulum,
• beban belajar,
• kurikulum tingkat satuan pendidikan yang dikembangkan di tingkat satuan pendidikan, dan
• kalender pendidikan.

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN KTSP
Keunggulan KTSP, di antaranya adalah memberikan keleluasaan kepada guru dan sekolah untuk membuat kurikulum sendiri yang disesuaikan dengan keadaan siswa, keadaan sekolah, dan keadaan lingkungan. Sekolah bersama dengan komite sekolah dapat bersama-sama merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi lingkungan sekolah. Sekolah dapat bermitra dengan stakeholder pendidikan, misalnya, dunia industri, kerajinan, pariwisata, petani, nelayan, organisasi profesi, dan sebagainya agar kurikulum yang dibuat oleh sekolah benar-benar sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
Menurut http://re-searchengines.com/imamhanafie3-07-2.html
• KELEBIHAN
a. Mendorong terwujudnya otonomi sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan.
b. Mendorong para guru, kepala sekolah, dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program pendidikan.
c. KTSP memungkinkan bagi setiap sekolah untuk menitikberatkan dan mengembangkan mata pelajaran tertentu yang aspektabel bagi kebutuhan siswa.
d. KTSP akan mengurangi beban belajar siswa yang sangat padat dan memberatkan kurang lebih 20%.
e. KTSP memberikan peluang yang lebih luas kepada sekolah-sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan.

• KEKURANGAN
a. Kurangnya SDM yang diharapkan mampu menjabarkan KTSP pada kebanyakan satuan pendidikan yang ada
b. Kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana pendikung sebagai kelengkapan dari pelaksanaan KTSP
c. Masih banyak guru yang belum memahami KTSP secara Komprehensif baik konsepnya, penyusunanya maupun prakteknya di lapangan.
d. Penerapan KTSP yang merokomendasikan pengurangan jam pelajaran akan berdampak berkurangnya pendapatan guru.





PERBEDAAN DAN PERSAMAAN KTSP DENGAN KURIKULUM SEBELUMNYA
No. KTSP Kurikulum Sebelumnya
1. Dibuat oleh sekolah Dibuat oleh pusat
2. Berbasis kompetensi Berbasis kontens
3. Siswa aktif Guru aktif
4. Berdasar Standar Nasional Belum ada Standar Nasional

PERBEDAAN KTSP DENGAN KBK ( KURIKULUM 2004 )
KBK KTSP
Kurang operasional Lebih operasional
Guru cenderung tidak kreatif Guru lebih kreatif
Guru menjabarkan kurikulum yang dibuat Depdiknas Guru membuat kurikulum sendiri
Sekolah kurang diberi kewenangan untuk mengembangkan kurikulum Sekolah diberi keleluasaan untuk mengembangkan kurikulum
Kurang relevan dengan otonomo daerah Lebih relevan






PERSAMAAN KTSP DENGAN KBK:
1. Sama-sama menekankan pada aspek kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa
2. Sama-sama merupakan kurikulum yang bersifat otonomi daerah dimana setip daerah diberikan kesempatan yng seluas-uasnya untuk mengembangkanya.
3. Adanya persamaan dalam perancangan pembelajaran berupa adanya standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator pencapaian.
4. Sama-sama danya system evaluasi dalam penenentuan hasil belajar sisiwa.
5. Adanya kebebasan dalam pengembangan yang dilakukan oleh guru waluapun di KTSP itu guru diberikan kebebasan yang lebih.
6. Sama-sama berorientasi pada prinsip pendidikan sepanjang hayat.
7. Sama- sama memerlukan sarana dan prasarana yang memadai

KOMPONEN UTAMA KTSP
a. Tujuan Pendidikan Sekolah
b. Struktur dan Muatan Kurikulum (mata pelajaran. Muatan lokal, Pengembangan Diri, Beban Belajar, Ketuntasan Belajar, Kenaikan dan kelulusan, Penjurusan, Pendidikan Kecakapan Hidup, Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global).
c. Kalender Pendidikan
d. Lampiran-lampiran (yaitu: program tahunan, program semester, Silabus, RPP)

Selasa, 06 April 2010

Penguatan dalam pendidikan

PENGUATAN
A. Pengertian Penguatan
Sesuai dengan makna kata dasarnya “kuat”, penguatan (reinforcement) mengandung makna menambahkan kekuatan pada sesuatu yang dianggap belum begitu kuat. Makna tersebut ditujukan kepada tingkah laku individu yang perlu diperkuat. “Diperkuat”artinya dimantapkan, dipersering kemunculannya, tidak hilang-hilang timbul, tidak sekali muncul sekian banyak yang tenggelam. Pada proses pendidikan yang berorientasi pengubahan tingkah laku, tujuan utama yang hendak dicapai melalui proses belajar adalah terjadinya tingkah laku yang baik, tingkah laku yang dapat diterima sesering mungkin sesuai dengan kegunaan kemunculannya.
Penguatan yang diperuntukkan bagi tingkah laku-tingkah laku yang baik, tingkah laku yang dapat diterima bukan tingkah laku yang jelek. Tingkah laku yang baik atau dapat diterima adalah tingkah laku yang bernilai positif dengan rujukan sebagai berikut:
• Harkat dan martabat manusia (HMM, yang di dalamnya terukir hakikat manusia, dimensi kemanusiaan dan panca daya) yang seluruhnya normative.
• Nilai dan moral yang bersumber pada agama, adat istiadat, ilmu, hukum, dan kebiasaan, yang diterima dan diberlakukan dalam kehidupan.
• Tugas perkembangan peserta didik yang hendaknya dipenuhi atau dicapai peserta didik untuk menjamin kesuksesan tahap perkembangan yang sedang berlangsung dan kesiapan tahap perkembangan berikutnya.
• Kebutuhan dasar dan kebutuhan perkembangan yang hendaknya terpenuhi untuk menjaga kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik.
• Tujuan pendidikan/pembelajaran yang sedang dijalani peserta didik untuk menjamin kesuksesan pendidikan yang sedang dijalani sekarang dan pendidikan selanjutnya.
• Keuntungan dan dampak positif yang diperoleh melalui tingkah laku tersebut, baik bagi peserta didik yang bersangkutan maupun bagi pihak-pihak lain yang terkait.
Tingkah laku yang baik perlu mendapat apresiasi, sambutan positif, bahkan penghargaan (reward) yang secara langsung diterima dan dirasakan oleh peserta didik sebagai sesuatu yang menyenangkan; sedangkan tingkah laku yang jelek atau tidak dapat diterima tidak boleh diberi penguatan, bahkan harus dikurangi dan diberantas. Dalam praktik pendidikan sehari-hari banyak sekali tingkah laku ditampilkanoleh peserta didik, ribuan, bahkan tak terhitung jumlahnya. Diantara tingkahlaku-tingkahlaku itu pastilah banyak yang baik, yang perlu diberi penguatan, di samping ada diantaranya yang kurang baik atau tidak baik sama sekali, yang perlu dilemahkan atau diberantas. Sayangnya, banyak sekali tingkah laku yang baik itu terlewatkan begitu saja, tidak mendapatkan penguatan. Tingkah laku yang sebenarnya baik itu, karena tidak mendapatkan perhatian dan tidak mendapat penguatan, menjadi mengendur dan dikhawatirkan akhirnya menghilang. Apabila hal ini terjadi terus menerus maka tingkah laku yang baik itu akan semakin langka; maka akan terjadilah krisis tingkah laku yang baik. Biasanya krisis itu disertai dengan membanjirnya tingkahlaku yang jelek.
Dalam kondisi tidak memperhatikan dan memberikan penguatan terhadap tingkah laku yang baik, banyak diantara orang-orang yang menamakan diri pendidik justru lebih peka terhadap tingkah laku yang jelek. Berbagai pihak beramai-ramai memberikan perhatian kepada tingkah laku yang sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan. Akibatnya tingkah laku jelek itu yang lebih menonjol, dibicarakan dimana-mana; sementara itu tingkah laku yang baik seakan-akan tenggelam di rimba berbagai kejelekan. Ironisnya, berbagai pembicaraan, dan juga upaya yang katanyaditujukan untuk mengatasi tingkah laku-tingkah laku yang jelek itu, cenderung gagal. Ibarat “arang abis, besi binasa, nasi tak masak, parang tak jadi juga”. Memang harus diakui bahwa memberantas yang jelek-jelek jauh lebih susah daripada menyuburkan dan menguatkan hal-hal yang sudah mulai membaik. Apalagi kalau cara dan para pelaksana pemberantas kejelekan itu masih banyak terkontaminasi dengan hal-hal yang jelek itu.



B. Jenis Penguatan
Ada dua jenis penguatan, yaitu penguatan positif dan penguatan negative. Arah dan tujuan kedua jenis penguatan itu sama, yaitu mendorong “lebih kuatnya” tingkah laku baik yang telah ditampilkan. Namun bentuk dan materi penguatan berbeda.
1. Penguatan positif
Diselenggarakan dengan jalan memberikan hal-hal positif berupa pujian, hadiah, atau hal-hal lain yang berharga kepada pelaku tingkah laku yang dianggap baik dan ingin ditingkatkan frekuensi penampilannya. Dengan pujian, hadiah dan lain-lain hal positif itu diharapkan si pelaku termotivasi untuk mengulangi tingkah laku atau perbuatannya yang dianggap baik itu. Pujian, hadiah dan hal-hal yang berharga itu disebut penguat. Sifat penguat disini adalah sesuatu atau perangsang yang membuat orang yang bersangkutan merasa dihargai, merasa senang, merasadirinya berguna, merasa dirinya berhasil, dan hal-hal positif lainnya.
2. Penguatan negative
Penguat pada penguatan negative haruslah tetap berupa hal-hal yang menyenangkan bagi si pelaku, dengan cara mengurangi hal-hal tertentu yang selama ini dirasakan sebagai hukuman, atau tidak menyenangkan, atau menjadi sesuatu yang memberatkan bagi si pelaku.

C. Pertimbangan Dalam Pemberian Penguatan
Penguatan baik positif maupun negative sebaiknya dilakukan secara tepat, tidak asal dilaksanakan. Pemberian penguatan hanya akan efektif apabila dilaksanakan dengan memenuhi sejumlah pertimbangan.
1. Sasaran penguatan
Tingkah laku atau bisa juga prestasi peserta didik yang hendak diberi penguatan hendaknya jelas; jelas bentuk tingkah laku itu; jelas pula apanya yang baik. Lebih jauh, tingkah laku yang dianggap baik dan perlu diberi penguatan itu biasanya adalah tingkah laku yang selama ini belum ditampilkan dan memang ditunggu-tunggu penampilannya. Dengan ditampilkannya tingkah laku (baru) yang baik itu berarti si pelaku sudah mengalami perubahan diri menjadi lebih baik.

2. Waktu pemberian penguatan
Pelaksanaan pemberian penguatan hendaknya sesegera mungkin; jangan ditunda; kalau terlambat dapat menjadi basi dan tidak efektif. Dalam hal ini perhatian dan spontanitas si pemberi penguatan sangat diperlukan.
3. Jenis penguat
Jenis penguat hendaknya wajar, tidak terkesan berlebih-lebihan. Hindari kesan di buat-buat atau kepura-puraan. Seringkali penguat berupa tepuk tangan, ucapan selamat, tepukan di bahu, bersalaman, pelukan atau sun di pipi (untuk pelaku dengan jenis kelamin yang sama)sudah cukup efektif. Bentuk penguat tidak harus berupa sesuatu yang mahal, tetapi jangan sampai tanpa makna sama sekali. Bentuk penguat juga dapat berupa sesuatu yang bisa ditukar dengan hal-hal yang secara langsung dapat dinikmati, seperti hadiah voucher yang dapat ditukarkan di took atau kafe dengan barang tertentu atau makanan.
4. Cara pemberian penguatan
Hendaknya juga wajar, menghindari kesan berlebihan, kepura-puraan dan dibuat-buat. Kewajaran ini disesuaikan dengan bentuk penguatnya. Cara yang dimaksud disini dapat sangat bervariasi, dari pemberian hadiah pada waktu diadakannya acara besar sampai sekadar jabat tangan atau isyarat ucapan selamat.
5. Tempat pemberian penguatan
Diberikan di tempat penampilan tingkah laku yang diberi penguatan itu muncul (TKP). Untuk keperluan tertentu dan sesuai dengan kondisi pemberian penguatan itu sendiri, pelaksanaan pemberian hadiah, dan lain semacamnya dapat dilakukan di tempat berbeda.
6. Pemberi penguatan
Pemberi penguatan hendaklah orang yang memiliki arti khusus bagi si pelaku; kalau bisa the significant person. Hal ini tidak mutlak; teman sendiri pun dapat memberikan penguatan. Hal yang paling penting adalah pemberian penghargaan itu dirasakan sebagai sesuatu yang positif, sebagai pendorong untuk berperilaku seperti itu lagi, bagi si pelaku. Makin positif penguatan itu dirasakan oleh pelaku tingkah laku, makin efektiflah pemberian penguatan itu. Status pemberi penguatan dapat menambah makna dari penguat yang diberikan itu.